Susunan Pengurus Yayasan

Al-Jauhari Islamic Boarding School berada di bawah yayasan Nailul Inayah Brebes. Berikut adalah Susunan Pengurus Yayasan Nailul Inayah Brebes.

Pendiri
Pembina
Ketua Yayasan

Dipublikasi di Uncategorized | Tag | Meninggalkan komentar

Wakaf Pembangunan Gedung Pesantren

Assalamu Alaikum wr. wb.

Alhamdulillah, Kami telah membebaskan tanah seluas 3500 Meter, senilai 60 juta rupiah, untuk lokasi bangunan Pesantren Al-Jauhari. Dana terkumpul dari sumbangan banyak pihak, termasuk anggota Majelis Taklim Nurul Qalbi Jakarta, sejumlah kenalan, dan pengurus Yayasan Nailul Inayah.  Tanah tersebut telah kami daftarkan kepada Badan Wakaf Nasional, sehingga status tanah ini adalah wakaf.

Saat ini baru ada satu ruang kelas yang telah dibangun di atas tanah wakaf, sumbangan dari PT Dupon. Namun demikian, ruangan ini belum kami gunakan karena belum dilengkapi dengan kamar kecil dan tempat berwudhu. Sehingga, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar(TK, TPA, Kajian Islam, dll), kantor yayasan  dan pelatihan keterampilan masih berlangsung di Gedung TK dan rumah pengasuh pesantren.

Mudah-mudahan, Pesantren Wirausaha Al-Jauhari akan segera memiliki tambahan 2 ruang kelas + kamar kecil / tempat berwudhu supaya kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan bisa berjalan dengan lancar.

Kepada Bapak/ Ibu/ Saudara kaum muslimin dan muslimat yang berminat untuk  berinfaq, kami mengucapakan terima kasih.Harta yang  kita keluarkan di jalan Allah, itulah sebenarnya harta kita karena akan menjadi bekal hidup kita yang abadi di hari akhirat kelak. Amiin.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Program Pesantren

JENIS KEGIATAN

A. Tarbiyyah Islamiyyah

– TK Islam & TPA

– Majlis Ta’lim

– Kitab Kuning

– Kajian Islam
B. Keterampilan

– Kursus Komputer

– Kursus Menjahit

– Kursus Montir

– Bimbingan Belajar

– Kursus Bahasa Inggris

Sebagian dari kegiatan di atas tanpa dipungut biaya, karena para peserta dari kalangan du’afa. Sebagian lagi dipungut infaq dengan sangat rendah dan terjangkau dengan ekonomi masyarakat sekitar.

Kegiatan yang sampai saat ini belum terealisasikan adalah kursus montir, dikarenakan belum tersedianya sarana penunjang dan keterbatasan dana.

Dipublikasi di Uncategorized | Tag | Meninggalkan komentar

Kopi Luwak

Kopi Luwak

Dr KH Ahmad Munif Suratmaputra MA
Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat
Kopi luwak kini tengah gencar dipromosikan. Mungkin, pembaca termasuk penggemarnya yang suka menikmati kelezatannya. Apakah kopi luwak itu? Bagaimana hukum mengonsumsinya? Tulisan ini akan mengkajinya dari kacamata hukum fikih.
Kopi luwak adalah kopi yang telah dipilih dan dimakan oleh binatang luwak. Luwak memilih buah kopi yang mempunyai tingkat kematangan yang sempurna berdasarkan rasa dan aroma, mengupasnya dengan mulut, lalu menelan lendir yang manis serta bijinya.
Biji kopi yang masih terbungkus kulit pembalut yang keras/kulit tanduk (semacam tempurung dalam kelapa) tidak hancur dalam pencernaan luwak. Sistem pencernaan luwak yang kondusif membuat biji kopi yang keluar bersama feses/kotoran luwak masih utuh terbungkus kulit. Pada saat biji kopi berada dalam pencernaan luwak, terjadi proses fermentasi secara alami selama kurang lebih 10 jam.
Prof Massiomo Marcone seorang guru besar dari Kanada menyebutkan bahwa fermentasi pada percernaan luwak ini menjadikan kopi berkualitas tinggi. Selain berada pada suhu fermentasi optimal 24-26 derajat C, juga dibantu oleh enzim dan bakteri yang berada di pencernaan luwak tersebut.
Apakah biji kopi yang keluar dari perut luwak bersama kotorannya itu hukumnya halal dikonsumsi? Bukankah ia telah tercampur dengan najis, yaitu feses luwak? Untuk mengkaji masalah ini, fuqaha’ telah mengkajinya ratusan tahun yang silam. Dalam menghukumi apakah kopi luwak itu halal atau haram, kajian fikih mengawalinya dari paradigma atau sebuah pertanyaan, apakah kopi yang berada di dalam pencernaan luwak yang kemudian keluar bersama fesesnya itu najis atau mutanajjis?
Apabila biji kopi yang keluar bersama kotoran luwak itu dihukumi najis, kopi luwak itu jelas tidak halal/haram dikonsumsi. Namun, apabila status biji kopi yang keluar dari perut luwak itu dihukumi mutanajjis (hanya bersentuhan najis), biji kopi itu dapat disucikan dengan air mutlak dan halal untuk dikonsumsi. Tentu, setelah melalui proses dibersihkan kulitnya, digongso/digoreng, dan dilembutkan menjadi bubuk kopi.
Nah, bagaimana pandangan fikih terhadap masalah ini? Dalam buku-buku fikih, disebutkan bahwa biji-bijian yang keluar bersama kotoran atau muntah hewan itu dihukumi mutanajjis, dengan catatan biji-bijian itu keras, masih utuh, tidak berubah, yang indikasinya apabila biji-bijian itu ditanam, bisa tumbuh. Biji-bijian tersebut bisa menjadi suci karena dicuci dan halal dimakan. Namun, apabila biji-bijian itu telah berubah, dihukumi najis.
Dalam kitab Fath al-Mu’in dengan syarah I’anah ath-Thalinin juz I, disebutkan bahwa apabila ada hewan memuntahkan biji-bijian atau keluar dari perutnya bersama fesesnya, lalu biji-bijian itu keras, masih utuh sehingga kalau ditanam bisa tumbuh; biji-bijian itu pun statusnya mutanajjis, tidak najis. Biji-bijian itu menjadi suci dengan cara dicuci dan halal dimakan.
Hal yang sama disebutkan dalam kitab Majmu’ Syarah Muhazzab juz II karya Imam Nawawi pada bab najis. Dengan demikian, apabila kopi luwak yang keluar dari perut luwak bersama kotorannya tersebut masih dalam kondisi utuh dan dipastikan tidak ada kotoran luwak yang merembes ke biji kopi tersebut; kopi luwak itu hanya mutanajjis (terkena /bersentuhan najis) sehingga bisa menjadi suci dengan cara dicuci dengan air mutlak. Hal ini akan membuat hilang ketiga macam sifatnya (warna, rasa, dan bau najis/feses luwak).
Dalam hal ini, penulis pernah bertanya kepada Koordinator Tenaga Ahli LPPOM MUI, Dr Khaswar Syamsu, salah seorang dosen IPB. Beliau mengatakan bahwa kopi yang keluar bersama kotoran luwak itu ketika ditanam memang dapat tumbuh. Hal yang sama dinyatakan oleh salah seorang petani kopi luwak.
Apabila kita telah yakin terhadap hal ini, kita dapat menjadikan jawaban itu sebagai pedoman untuk isbat al-Hukm asy-Syar’i (menetapkan hukum Islam) atau berfatwa. Kita tidak perlu lagi mengundang ahlinya. Namun, apabila kita belum yakin dengan hal tersebut, kita perlu mengundang ahlinya untuk meyakinkan. Hal ini dilakukan agar fatwa yang dikeluarkan benar-benar berdasarkan ilmu dan kebenaran.
Apabila biji kopi itu benar-benar masih utuh dan tidak berubah, statusnya sebagai barang suci yang terkena najis/mutanajjis, bukan najis. Ia akan menjadi suci dan halal setelah dicuci dengan air mutlak dengan menghilangkan tiga sifatnya (rasa, bau, dan warna). Hal ini sejalan dengan kaidah hukum Islam, Wal-Aslu Baqau Ma Kana ‘ala Ma Kana. Yang artinya, “Pada dasarnya, segala sesuatu itu dihukumi sesuai dengan hukum asalnya (yang telah ada padanya).”
Sebelum terkena najis, kopi itu jelas suci dan halal. Dengan demikian, setelah terkena najis, ia dapat disucikan dan hukumnya tetap halal. Kita juga dapat berargumentasi dengan qiyas/analogi, yaitu di-qiyas-kan dengan cincin yang tertelan, kemudian keluar bersama feses manusia. Cincin itu statusnya mutanajjis, dapat suci kembali setelah dicuci.
Di belahan wilayah Indonesia yang hutannya ada durian atau ada pohon durian yang dekat hutan, sering terjadi ada buah durian ditelan seekor gajah dalam keadaan utuh dan keluar bersama fesesnya dalam kondisi masih utuh. Konon, durian itu banyak yang mencari dan memperebutkannya. Mengapa? Katanya, rasanya amat lezat. Kasus durian ini menurut hemat penulis dapat di-qiyas-kan dengan kopi luwak. Wallahu A’lam.

Dipublikasi di Uncategorized | Tag | Meninggalkan komentar

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar